ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU
LAPORAN
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU
FILSAFAT
KONSTRUKTIVISME
Oleh
NAMA : SALEHUDDIN
JURUSAN :
ILMU PENEGETAHUAN SOSIAL
KEHUSUSAN : PENDIDIKAN SOSIOLOGI
PROGRAM PASCA
SARSAJANA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Filsafat
konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari
filsafat yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat
mengetahui sesuatu. Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi
perkembangan pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak tahun 2006/2007 sebenarnya
memiliki akar pada konsep filsafat ini.
Dalam konsep
filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh
seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu
perumusan yang diciptakan oleh orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh
murid itu sendiri. Inilah pergeseran nyata yang sesungguhnya sudah dirintis
ketika dunia pendidikan kita dikenalkan dengan Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA).
Dalam
praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal
terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan
partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.
Inilah knstruktivisme.
1.2 Tujuan
Pembahasan
Pembahasan
topik ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai filsafat
konstruktivisme. Dengan memahami akar dari suatu permasalahan, yakni dengan
berfilsafat, diharapkan terjadi suatu kesadaran baru dan dengan demikian
seseorang dapat mengerti dan menjalani sesuatu dengan konsep yang jelas dan
benar. Melalui pembahasan ini khususnya dalam dunia pendidikan diharapkan muncul
suatu keberanian merancang suatu model-model pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik (murid) berkembang secara optimal dan mampu menemukan
konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya.
1.3 Rumusan
Masalah
Secara garis
besar masalah-masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini antara lain :
a.
Apakah filsafat konstruktivisme itu?
b.
Mengapa kita perlu memahami filsafat konstruktivisme?
c.
Apakah peran filsafat konstruktivisme dalam dunia
pendidikan dan pengajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi
harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu
yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan
dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu
akan sangat berperan.
Berbicara
tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan
intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori
pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme
selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan
dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman
baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula
berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik
pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Berkenaan
dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul
Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam
tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean
Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh
Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan
pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun
menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean
Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama
dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang
melebihi gagasan Vico.
2.2 Pengaruh
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya
prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains
dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan
alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan
sains dan matematika. Prinsip-prinsip
yang diambil dari konstruktivisme adalah :
a. Pengetahuan
dibangun oleh peserta didik secara aktif.
b. Tekanan
dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
c. Mengajar
adalah membantu peserta didik belajar.
d. Tekanan
dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
e. Kurikulum
menekankan partisipasi peserta didik.
f. Guru adalah
fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah
dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan
dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap
silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan
lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung
lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi
terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya
tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah
pengertian atau konsep alternative. Dalam hal seperti ini diperlukan
penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
2.3 Implementasi
Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat
konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar
konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat
pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak
belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini
dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di
sini.
Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahw aperilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com).
Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahw aperilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan angka-angka yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com).
Model
pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan
paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J.
Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita
yang menganal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk
pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru!) dan
terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik
sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan
(Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bias
dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat.wordpress.com).
Yang
terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
speserta didik lah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif
mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas
hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi
kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas,
dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu
mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan,
mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman social
dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata,
http://puslit.petra.ac.id).paham konstruktivistik. Dengan melihat perbedaan
keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih jelas.
Menurut
pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri:
1)
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana
belajar.
2)
Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivita
skolaborative, refleksi serta interpretasi. Si belajar memiliki pemahaman
tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya
individualistic.
3)
Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut,
si belajar bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control
belajar dipegang si belajar.
4)
Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk
meladeni pandangan pebelajar. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data
primer. Pembelajaran menekankan proses.
5)
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali
munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh
dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com).
Dari
beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu
pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta
didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Pembelajar (guru) menjadi
fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan
mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa
model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model
belajar ini adalam menciptakan insane-insan pebelajar yang selalu terdorong
mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian,
institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua
elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai
hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Secara sederhana dapat disimpulkan, filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.
Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan
dalam pendidikan sains dan matematika, namun demikian sekarang prinsip-prinsip
tersebut dapat diterapkan ke dalam semua mata pelajaran. Dan berkaitan dengan
diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang
memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum
pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat
menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya serta mewujudnyatakan dalam
pembelajaran.
Namun tetap harus diperhatikan bahwa model
pembelajaran konstruktivistik ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat dan
didukung oleh institusi pendidikan yang berwawasan luas, Institusi pendidikan
harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar dengan menyiapkan
sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen pendukung lainnya. Semua elemen
didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil
optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
3.2 Saran
Filsafat konstruktivisme harus dipahami sebagai roh
yang menggerakkan subyek-subyek pendidikan sehingga akan lahirlah
inovasi-inovasi baru dalam pendidikan dan pengajaran. Untuk mencapai hasil
maksimal berupa outcome SDM handal, diperlukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi :
a.
Guru, sebagai subjek sentral dalam pendidikan harus
memiliki wawasan baru dan luas dalam model-model pembelajaran.
b.
Sekolah dan penyelenggaranya harus memiliki visi dan
misi yang jelas yang menjangkau masa depan, dan melengkapi dengan sarana
prasarana yang memadai.
c.
Dibutuhkan keberanian dari pelaku-pelaku pendidikan
untuk secara kritis menyikapi berbagai perubahan dan membuat terobosan.
d.
Peserta didik tidka lagi dijadikan asset yang mampu
menjual nama baik lembaga, tetapi harus diberi kesempatan berkembang secara
optimal dan alamiah.
DAFTAR
RUJUKAN
Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar.
Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang:
IKIP Malang.
Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai
Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. Dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.
Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Retrieve 20 Agustus 2008. Dari
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Hidayat, Ayatollah. 2009. Kogntif Learning Theory. retrieve 15 Desember
2009 dari http://www.ayatollahhidayat.blogspot.com.
June, Lee Xiang. 2009. Konstruktivisme Philosophy. Retrieve 15 Desember
2009 dari http://www.qmt323e.wikispaces.com.
Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari
http://www.puslit.petra.ac.id.
Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Retirieve 19 Juli
2007. dari http://www.rohadieducation.wordpress.com.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Komentar
Posting Komentar
Komentarlah yang sopan