SIMBOLIK HAJI


SIMBOLIK HAJI
Studi Deskripptif Analitik Pada Orang Bugis


Oleh
Prof. Dr. A. Agustang, M.Si


Abstract
As stated by berger, hajj as religious practice is attached to cultural context and meaning dialecticism. The difference of hajj symvol as cultural product construction from other laid on its transcedence and its religious dimension. Its cultural meaning has also changed overtime. This change can be looked on the newly hajj interpretation which has diviaced from its true meaning written in islmaic text, and implicated to the current Buginesse community social and ciltural practice and inter relation. As the symbol of hajj relatively attached more the female hajj, the number of female hajj, as its implication, is more higher than male hajj.
Key words: hajj, symbolic meaning.






PENDAHULUAN
Minat dan semangat orang bugis untuk naik haji tergolong cukup tinggi. Tingginya angka jemaah haji umumnya digunakan sebagai indikasi dari dua hal penting. Pertama, meningkatnya ketakwaan dengan memnuhi rukun islam ke lima. Sebuah bukti bahwa kehidupan beragama semakin membaik. Kedua, hal itu menunjukkan pula membaiknya kemampuan ekonomi, sebab untuk mengerjakan ibadah haji diperlukan biaya yang sangat tinggi, apa lagi jika ukurannya adalah penghasilan petani yang pas-pasan untuk kebutuhan hidup sehari-hari
Selain itu, ada fenomena lain yang cukup menarik dan khas. Berdasarkan data setiap tahun rata-rata 70 persen dari jamaah haji orang-orang Bugis Bone adalah kamu perempuan. Data itu juga menunjukkan bahwa 60 persen dari jamaah haji orang Bugis Bone setiap tahun adalah ibu rumah tangga. Fenomena itu menarik mengingat suku Bugis adalah sebuah suku yang paternalistik, di mana kekuasaan dalam rumah tangga sepenuhnya berada dalam wewenang laki-laki
Dengan sebuah penelitian, Sarjan menemukan bahwa banyak orang bone menunaikan ibadah haji karena terobsesi pada  asek-aspek simbolik seperti busana dan gelar hajiserta paham-paham keberkahan benda-benda tanah suci. Untuk mengungkap makna yang tersembunyi dibalik simbol-simbol haji itu memang bukan perkara mudah, karena makna tersebut lebih bersandar pada keyakinan dari pada rasionalisme. Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “persfektif partisipan” atau subjek penelitian. Transparansi makna aspek simabolik haji itu hanya dapat diuraikan oleh subjek yang meyakini makna simbolik tersebut, tetapi karena paham dan keyakinan itu bersifat faktual dan aktual, implikasinya dapat terlihat pada realitas sosial.
Penelitian ini akan menggali dan mempelajari fenomena perilaku keagamaan orang Bugis di kabupaten Bone melalui salah satu aspek pranata ibadah yaitu haji. Dengan demikian penelitian ini merupakan kakjian mengenai peranan keagamaan. Peranata keagamaan adalah pranata sosial yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari suatu masyarakat meliputi segala pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat tersbut dalam mengabdi kepada Tuhan mereka. Penelitian yang sudah dilakukan tentang konsep makna haji sebagai dimensi keberagamaan khususnya pada orang Bugis dan pengaruhnya pada prilaku sosial-budaya dan realitas sosial (sistem sosial, struktur sosial, dan pranata sosial lainnaya) memang sudah ada, misalnya penelitian yang sudah dilakukan oleh Sarjan. Penelitian itu pada dasarnya merupakan kajian teologis sehingga tidak menjelaskan hubungan antara pranata haji ini dengan konstruksi sosial-budaya masyarakat sebagaimana menjadi kajian sosiologi-antroppologi. Oleh karena itu penelitian ini merupakan sebuah studi tentang pranata haji dan pranata keagamaan secara luas dari perspektif sosiologis dan antropologis .
Mengacu pada latar belakang penelitian, pertanyaan besar yang dapat diajukan disini adalah bagaimana kesaling-terhubungan (interrelesi) antara dimensi keberagamaan denga sistem sosial pada orang Bugis. Dimensi keberagamaan dalam hal ini adalah haji.



KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan dua konsep utama, aspek simbolik haji dan orang Bugis. Aspek simbolik haji adalah istilah yang dugunakan untuk merujuk seluruh simbol-simbol kehajian. Menurut Thorsten Veblen, semua pakaian dalam seluruh modelnya adalah simbolik, semakin khas pakaian semakin terbatas bertindak. Pakaian adalah salah satu cara melambangkan status  sosial seseorang dalam masyarakat.
Orang Bugis adalah istilah untuk komunitas suku Bugis yang merupakan suku terbesar yang mendiami wilyah Sulawesi Selatan. Dalam konteks ini, orang Bugis yang dimaksud itu adalah orang Bugis di Kabupaten Bone.
Untuk memahami dua konsep itu, digunakan pendekatan fenomenologis, pendekatan realitas sosial Peter L. Berger, dan interaksionisme simbolik. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik utnuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.4 Menurut Dhavamony, dalam mengkaji fenomena agama, fenomenologi tidak mengkaji agama secara filosofis dan teologis, tetapi hakiakat agama sebagai fenomena emfirik dari struktur umum suatu fenomena yang mendasarai setiap fakta religius. Fakta religius bisa bersifat historis, sosiologis, antropologis, atau psikologis.5
Selanjutnya dalam penelitian ini juga digunakan teori konstruksi realitas secara sosial dari Peter L. Berger. Teori konstruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan dan teori fenomenologi. Ia lahir sebagai tandingan terhadap teori-teori yang berbeda di dalam paradigma fakta sosial, terutama gagasan yang dibangun oleh Durkheim.6 Berger menulis risalah teoritik utamanya, The social construction of reality bersama-sama dengan Thomas Luckmand. Berger dan Luckmand meringkas teori mereka dengan menyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan harus menganalisis proses bagaimana hal itu terjadi. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai “kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada di luar kemauan kita”.7
Selain pendekatan fenomenologis dan teori konstruksi realitas sosial dari Berger, digunakan pula pendekatan interaksi simbolik. Dalam penelitian ini, kerangka konseptual interaksionis simbolik dugunakan untuk mengkaji pengalaman para responden, terutama yang berkaitan dengan kehajian. Perspektif interaksi simbolik adalah perspektif yang berusaha memahami  perilaku dari sudut pandang subjek yang diteliti. Teori ini menekankan bahwa periaku anusia dilihat sebagai suatu proses yang melibatkan individu-individu untuk membentuk perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang-orang yang erineraksi dengan mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku.8
Secara skematik pola pikir digambarkan dalam paradigma  penelitian berikut:


Sumber: modifikasi konsep berger tentang dialektika sosial




HASIL PENELITIAN

Pakaian Sebagai Simbol Haji
Pada waktu perjalanan pulang kembali ke tanah air, menjelang turun dari pesawat, sebagian besar jamaah terutama jemaah perempuan mulai sibuk dengan mendadani diri. Mereka tidak lagi memperhatikan peringatan pramugari untuk tetap tenang dan memakai sabuk pengaman. Mereka juga tidak mendengar seruan petugas haji yang menyuruh mereka berdo’a agar selamat dalam pendaratan. Waktu turun dari pesawat, semua telah memakai busana haji yang lengkap.
Itu adalah gambaran jamaah haji menjelang pesawat mendarat di debarkasi (terminal kedatangan) Hasanuddin Makassar. Semua informan yang penulis temui menceritakan hal yang sama tentang suasana seperti itu. Kalau tidak ada yang sempat memakai busana haji di pesawat, maka akan memakainya di mobil dalam perjalanan pulang ke daerah masing-masing. Tujuan dari pemakaian busana haaji itu adalah mereka ingin menunjukkan kesan perubahan setelah melakukan ibadah haji, dan itu ditunjukkan dengan pakaian. Pakaian adalah identitas kehajian yang paling menonjol dan pertama telrlihat. Perubahan itu bagi mereka adalah berkah dari haji yang pertama sekali.kerenanya, haji yang tidak memakai busana haji pada waktu pulangnya, maka oleh orang lain hajinya dianggap tidak berkah.
Busana haji tidak hanya sekedar memnuhi  fungsi estetika dan model bagi seorang haji tetapi lebih dari pada itu mengandung aspek-aspek simbolik yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial budaya orang Bugis secara keseluruhan. Busana itu tidak sekedar dipakai setelah menjadi haji semata, tetapi harus dimulai dalam sebuah upacara yang disebut mappatoppo. Karenannya, seorang haji setelah dipatoppoi harus selalu memakai busana haji pada setiap acara formal atau setiap tampil di depan publik.

1.             Mappatoppo dan Pakaian Haji
Ada tiga kategori responden dalam hubungan dengan topik ini. Pertama, responden yang berpendapat bahwa mappatoppo adalah syarat unutuk seorang untuk boleh atau tidak meamakai busana haji. Dari 99 orang responden, responden dalam kategori ini sebanyak 67 orang atau 74,4 persen, umumnya terdiri dari golongan menengah ke bawah. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa mappatoppo bukan syarat kebolehan memakai busana haji, tetapi hanya berfungsi memberi berkah pada pakaian haji. Kelompok ini terdiri dari lima orang atau 16,7 persen, umumnya mereka yang berasal dari golongan menengah. Ketiga, kelompok yang berkeyakinan bahwa mappatoppo tidak ada hubungannya dengan pakaian haji. Dua orang responden atau sebanyak 6,7 peersen termasuk dalam kategori ini.
Seorang responden yang berpendapat bahwa mappatoppo syarat kebolehan memakai busana haji. Dari wawancara dengan responden lainnya, dapat disimpulkan bahwa bagi orang dalam kategori pertama dan kedua ini, selain sebagai momen keabsahan memakai busana haji, mappatoppo juga berfungsi memberi barakka pada busana haji dan pemakainya. Seluruh responden percaya, memakai busana yang dimulai dengan mappatoppo akan memberi efek pengaruh pada pemakainya sehingga akan kelihatan cantik dan mukanya bersinar. Busana itu diyakini memancarkan sebuah pesona yang menjadikan orang yang memakainya kelihatan sangat serasi dengan busana itu. itu diyakini tidak akan terjadi jika seseorang yang memakainya tanpa sebelum diresmikan dengan ritual mappatoppo.  
Dua orang responden yang masuk dalam kategori ketiga tidak mappatoppo tetapi tetap selalu memakai pakaian haji. Menurutnya yang ia tahu, sesungguhnya mappatoppo itu tdak ada dalam ajaran agama Islam, sehingga bid’ah. Maka mereka begitu selesai wukuf langsung memakai pakaian haji tanpa sebelumnya mappatoppo. Mereka memakai busana haji hanya karena saya tidak mau dipergunjingkan oleh masyarakat”.
Mappatoppo erat kaitannya dengan busana haji karena mappatoppo sebenarnya adalah sebuah proses peresmian pemakaian busana haji pertama kali oleh seorang Anre Guru. Sebagian besar masih meyakini bahwa pakaian haji baru sah dipakai apabila seseorang telah  melakukan mappatoppo.  Tampaknya, keyakinan itu sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Semakin tinggi pengetahuan seseorang atau semakin moderat pemahaman keislamannya, membuat ia tidak lagi menerima sebuah tradisi secara an sich. Beberapa responden sudah mulai melakukan protes tradisi itu, meskipun jumlahnya sedikit.

2.             Konstruksi Pakaian Haji Orang Bugis
Pada dasarnya pakaian haji ada dua yaitu pakaian yang dipakai sewaktu melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci yang disebut pakaian ihram  dan pakaian haji setelah menjadi haji. Pakaian ihram dipakai oleh seluruh jamaah haji dari seluruh dunia sedangkan pakaian yang dipakai setelah seseorang menjadi haji adalah khas dan hanya dipakai oleh orang Bugis yang sudah haji. Busana yang khas inilah yang dimaksud dengan pakaian atau busana haji dalam tulisan ini.
Busana haji bagi orang Bugis terdiri atas busana yang dipakai pada acara-acara resmi dan busana yang dipakai sehari-hari. Busana untuk pemakaian resmi itu pun terbagi atas busana lengkap dan busana yang simpel. Busana yang resmi adalah kabe’ atau tippolo (surban). Bagi haji laki-laki. Sedangkan busana resmi yang sederhana dipakai pada acara-acara adat seperti perkawinan dan acara-acara adat lainnya, terdiri dari  taliling saja atau terispa’  bagi haji perempuan dan songkok haji (peci putih) saja bagi haji laki-laki. Itulah busana yang akan membedakan anatara seorang haji dengan bukan haji. Busana yang dipakai sehari-hari tidak jauh berbeda dengan busana sederhana ini hanya saja taliling atau terispa’ diganti dengan cipo’-cipo’ haji yaitu sejenis topi khas perempuan yang dirancang khusus menyerupai taliling, tapi bukan taliling, tapi bukan taliling. Haji laki-laki lebih simpel karena biasanya mereka hanya cukup dengan memakai peci putih.

Gelar Haji Sebagai Simbol Haji
Gelar haji adalah identitas kehajian selain pakaian. Gelar haji pada seorang haji akan melekat terus di namanya, melebihi identitas atau gelar-gelar lain. Panggilan orang lain kepadanya berubah menjadi panggilan haji. Seorang bangsawan dengan Petta akan dipanggil dengan Petta Haji. Seorang dengan gelar Puang kemudian menjadi Puang Haji.  Bahkan tidak sedikit kasus,anak-anak dan keluarganya pun mengubah panggilan mereka menjadi haji. Jadi panggilan “ajikku” oleh seorang anak berarti ditujukan kepada orang tuanya. Aji urane (haji laki-laki) adalah panggilan untuk ayah dan aji makkunrai (haji perempuan) untuk ibu.
Bagi orang awam, terutama yang tinggal di daerah pedesaan, gelar haji ditujukan untuk menunjukkan identitasnya sebagai haji. Dengan identitas itu, penghargaan-penghargaan sosial  yang disediakan oleh sistem sosialnya bagi status haji akan ia peroleh dari masyarakat. Kesalahan penyebutan gelar haji itu, misalnya pada kartu undangan, berakibat ia akan jengkel dan tidak akan menanggapinya. Para haji itu, bahkan tidak mau menyahut atau pura-pura cuek kalau dalam pergaulan sehari-hari tidak dipanggil dengan gelar hajinya.
Seorang responden yang bekerja sebagai ibu Rumah Tangga, bercerita: “Saya, kalau ada undangan pengantin yang salah menulis nama saya secara lengkap”, saya sudah pasti tidak memperhatikannya, ...Menurut saya, tidak sembarang orang bisa naik haji, jadi pantas kalau dihargai.
Sedangkan bagi kalangan terdidik atau bagi yang tinggi pemahaman agamanya, gelar haji menjadi semacam motivasi untuk menjaga sikap dan perbuatan. Meskipun selalu memakainya, golongan ini akan memakluminya apabila suatu waktu ia dipanggil atau disapa tanpa gelar haji. Selah seorang responden yang berpandangan ketika ditanya pendapatnya tentang gelar haji, ia mengatakan: “Bagi kita yang tahu bahwa sesungguhnya gelar haji itu hanya perhiasan semata, tidaklah marah kalau ada orang  yang sekali waktu menyapanya atau mengundang tanpa menyebutkan gelar haji. Gelar haji itu sebenarnya hanya sekedar pengingat untuk menjaga sikap dan sifat karena kita ini sudah haji”.
Bagaimanapun, sebagian besar responden berpendapat bahwa gelar haji adalah sebuah gelar yang prestisius, yang dengan mendapatkannya seseorang akan naik derajat sosialnya. Meskipun pengaruhnya tidak sebesar aspek busana haji dalam memotivasi mereka naik haji,tapi dari penuturan mereka dan hasil dalam pengamatan tampak bahwa gelar haji adalah salah satu aspek yang memotivasi. Mereka tampak begitu senang ketika dipanggil haji dan sebaliknya akan kecewa kalau tidak  dipanggil  haji.


Implikasi Aspek Simbolik Haji
1.      Implikasi pada Status Sosial
Selain merupakan ibadah wajib dan rukun Islam, haji juga telah menjadi sebuah sistem simbol yang kompleks. Seorang yang sudah melaksanakan ibadah haji secara otomatis akan mendapatkan sebuah penghargaan sosial dari masyarakat atas kehajiannya sehingga karenanya ia harus menyesuaikan perilakunya dengan status sosial baru itu. Dengan statusnya sebagai haji, seorang  haji menjadi golongan atas dalam masyarakat.
Beberapa indikasi naiknya tingkat status sosial seseorang karena kehajiannya, misalnya dapat dilihat pada acara perkawinan adat Bugis.
1.             Tugas mengantar dan menjemput pengantin dilakukan oleh kalangan keluarga dekat pengantin atau orang lain yang diundang khusus karena status sosialnya. Selain karena jabatannya, orang yang diundang adalah para haji di kampung itu. Bagi pemilik acara, ada kebanggaan tersendiri jikalau acaranya dihadiri oleh banyak haji. Demikian juga pada acara mappaenre’ doi (pesta pembayaran uang belanja penetapan perkawinan).
2.             Setelah dihapuskannya sistem perbudakan, pekerjaan dapur seperti memasak,mengambil air dan mencuci  piring, saat ini dikerjakan oleh perempuan yang memiliki kedekatan hubungan dengan pengantin, biasanya keluarga atau tetangga. Seorang perempuan setelah berstatus haji tidak lagi bekerja di sektor belakang seperti itu,melainkan bertugas di sektor depan seperti menjemput tamu atau mengatur tamu.
Pada acara pesta perkawinan, atau acara-acara adat lainnya terdapat pola pengaturan umum untuk tata letak orang-orang yang terlibat dalam acara itu. Pengaturan itu dilakukan berdasarkan status sosial seseorang. Pola itu terdapat digambarkan sebagai berikut:
1.             Pada acara pesta pernikahan, barisan penjemput tamu, mulai dari luar: kelompok penjemput dengan pakaian adat Bugis, barisan penjemput yang mengapit jalan, barisan sebelah kiri adalah keluarga yang turut mengundang dan haji laki-laki, sedangkan barisan kanan adalah kelompok haji perempuan berbusana haji. Bagi orang Bugis, bagian kanan adalah simbol keutamaan.
2.             Pada acara di dalam ruang, kelompok haji duduk di sebelah kanan pintu serta agak jauh dari  pintu. Sedangkan non haji duduk sebelah kiri kiri pintu masuk, biasanya terstruktur dari pintu. Semakin terhormat seseorang, maka semakin jauh ia dipersilahkan duduk dari pintu masuk.
3.             Pekerjaan perempuan sebelum haji adalah memasak, menyajikan makanan, mencuci piring, dan semua urusan dapur lainnya. Sedangkan setelah haji, pekerjaan adalah menemani tamu di luar atau sebagian tamu, dan mengantar atau menjemput pengantin.
4.             Pada kegiatan keagamaan yang dilakukan di Masjid, kelompok haji duduk di saf (barisan) bagian depan, membentuk barisan tersendiri. Biasanya, saf depan memang sengaja dikosongkan untuk memberi kesempatan para haji mendudukinya. Hal itu menjadi mudah mengingat jumlah dan siapa-siapa saja yang haji di sebuah kampung di ketahui dengan pasti oleh masyarakat.

Seorang responden bercerita: “sebenarnya saya bukan orang kaya. Suami saya hanya petani. Tapi saya juga mau naik haji. Malu rasanya kalau ke acara pengantinan sedang kita bukan haji. Di kampung  ini (biru), perempuan bukan haji tidak terlalu diladeni kalau ada acara. Sepertinya acara itu memang milik para haji”.
Seorang responden lain menceritakan pengalamannya yang membuatnya berusaha keras mengumpulkan uang untuk biaya perjalanan haji. Pada sebuah acara perkawinan, responden tersebut asyik berbincang-bincang dengan dengan sahabatnya yang baru saja pulang dari Tanah Suci. Lalu datang seorang haji yang berkata: “Maaf”, silahkan yang bukan haji jangan duduk di sini karena ini adalah tempat khusus untuk para haji”. Karena merasa malu (masiri’) diperlakukan seperti itu ia bertekad untuk seccepatnya naik haji. Responden itu kemudian melanjutkan: “Sungguh malu rasanya menghadiri acara pengantin kalau kita bukan haji”.
Tingginya jumlah jamaah haji dapat dipakai untuk mengukur tingkat ketakwaan dan perekonomian sebuah masyarakat. Tetapi pada kasus responden penelitian ini, tampaknya itu kurang tepat. Jumlah jamaah haji yang cukup tinggi lebih disebabkan oleh karena para responden sangat terobsesi  pada aspek-aspek simbolik haji. Bagi kebanyakan mereka , haji merupakan sekedar sebagai simbolik saja karena kenyataannya, pelaksanaan ibadah hajinya banyak yang tidak sesuai dengan tuntutan haji menurut syariat islam. Dan setelah menjadi haji tidak ada perubahan sikap dalam hal peningkatan kualitas ketakwaan.
Kalaupun ada yang berubah, itu adalah harga diri yang menjadi lebih tinggi dari sebelumnya sebagai akibat naiknya status sosialnya. Fenomena itu tidak  hanya terjadi di pedesaan saja seperti sangkaan banyak orang, akan tetapi juga dapat dengan mudah ditemukan di daerah yang sedang berkembang menuju budaya perkotaan. Selain itu, dari pengamatan penulis, umumnya para responden itu hidupnya pas-pasan dalam arti penghasilan pertahun mereka biasa-biasa saja kalau tidak menyebutnya rendah. Rumah mereka juga jauh dari kesan mewah, juga pola hidupnya.

2.      Implikasi pada Aspek Pakaian Haji
Keelokan pakaian haji dan adanya aturan yang diyakini serta ditaati oleh orang bugis tentang fungsinya, membuat banyak orang yang naik haji  karena terobsesi agar bisa memakai pakaian itu. Ungkapan yang paling umum dilontarkan oleh responden dan orang yang ditemui di lapangan ialah: “Aduh, bagus nian si anu kelihatan sejak menjadi haji, saya juga mau naik haji”.
Umumnya responden meyakini pakain haji hanya boleh dipakai, bahkan harus dipakai oleh orang berstatus haji. Orang yang bukan haji apabila ketahuan memakai pakaian haji maka akan dicela, digunjingkan, bahkan akan dikucilkan dari pergaulan karena  dianggap sebagai orang yang tidak punya rasa malu (tau de’ gaga siri’ na). Jika seorang haji menghadiri sebuah acara tidak memakai pakaian hajinya, maka akan diperlakukan sebagai layaknya bukan haji.
Ada  tiga kategori dalam pemakaian busana haji ini, yaitu pertama golongan haji yang senang dan merasa memang harus  memakainya, yaitu sebanyaj 73 responden atau 81,1 persen. Golongan ini umumnya terdiri dari responden dengan latar belakang pendidikan paling tinggi Sekolah Menengah atau bermata pencaharian sebagai petani atau buruh.  Para respponden dalam golongan ini berpendapat sama bahwa pakaian haji adalah pakaian yang sakral, yang dengan memakainya mereka mersa cantik, anggun dan percaya diri. Pakaian haji bagi mereka adalah identitas seorang haji yang membedakan antara seorang haji dengan bukan haji.
Kedua, golongan yang memakainya untuk menghindari celanaan atau gunjingan masyarakat, sebanyak 12 responden atau 13,3 persen. Umumnya, responden dalam golongan ini terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi atau berasal dari keluarga yang berpendidikan moderat. Responden dalam golongan kedua ini berpendapat bahwa pakaian haji adalah pakaian biasa, sama seperti pakaian lain yang digunakan untuk mengidentitaskan sebuah kelompok. Tidak  ada sugesti seperti yang dialami oleh golongan ini, seperti yang terjadi pada golongan pertama. Para responden mengaku memakai pakaian haji hanya untuk menghindari gunjingan masyarakat  di sekitarnya. Sebagian lainnya mengaku memakai pakaian haji sebagai media untuk menjaga  perilaku dan perkataan dalam pergaulan sosial.
Ketiga, golongan yang tidak memakai pakaian haji sema sekali, sebanyak 5 orang atau 5,6 persen. Umumnya responden dalam golongan ini terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi (sarjana), meski ada dua orang yang berpendidikan rendah dan menengah (tamat SD dan SMA). Responden dalam golongan ini berpendapat bahwa pakaian haji sebenarnya tidak ada hubungannya dengan status kehajian karena mabrur, sah dan batalnya haji adalah keputusan Allah SWT. Para  responden tidak memakai pakaian haji karena menurut mereka itu adalah sebuah perbuatan yang sombong dan pamer (riya’), sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi keikhlasan haji. Sebagai gantinya, mereka lebih suka  memakai pakaian muslim yang umum, seperti jilbab. 

3.      Implikasi  pada Komposisi Haji Perempaun dan Laki-Laki
Implikasi lain dari aspek-aspek simbolik haji adalah adanya perbedaan signifikan antara jumlah jamaahh haji perempuan dengan haji laki-laki. Perbedaan yang signifikan itu merupakan implikasi dari status sosial dan pakaian haji sekaligus. Kedua hal itu merupakan faktor yang memotivasi kebanyakan informan dalam menuaikan ibadah haji.
Semua informan yang pernah menjadi petugas haji mengatakan bahwa pada setiap kloter yang mereka pimpin, rata-rata perbandingan jumlah jamaah haji perempuan dengan jemaah laki-laki adalah 80:20. Persentasi jamaah haji yang  berstatus sebagai irbu rumah tangga sangat besar jika dibanding dengan status  pekerjaan lainnya. Ini berarti bahwa banyak jamaah haji perempuan yang sudah berkeluarga berangkat dengan tidak ditemani oleh muhrimnya (suaminya) sekaligus membantah alasan komposisi jumlah penduduk perempuan dan laki-laki sebagai penyebab dari adanya selisish anatara jumlah jamaah haji perempuan dan haji laki-laki. Hal itu juga menggambarkan betapa perempuan Bugis memiliki semangat untuk menunaikan ibadah haji yang lebih tinggi dari laki-laki.

4.      Implikasi pada Persepsi Orang Bugis Terhadap Haji
Pada hampir semua masyarakat Sulawesi Selatan, haji lebih dipahami sebagai sebuah prestise dan status sosial dari pada haji sebagai ibadah sebagaimana yang diperintahkah oleh syariat islam. Sebagian besar jamaah haji dimotivasi oleh faktor-faktor sosial dan paham-paham keberkahan. Hal itu dapat dilihat pada beberapa fenomena, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, ada indikasi masyarakatdi lokasi peelitian lebih terorientasi oleh faktor prestise haji yang ukurannya adalah busana haji. Busana haji adalah simbol kehajian yang paling menonjol. Menurut seorang informan bahwa, pakaian merupakan motivator haji terkuat orang Bugis naik haji, khusunya yang masih awam. Argumen untuk  menjelaskan preposisi ini  adalah tingginya angka perbedaan antara jumlah jemaah haji perempuan dari pada jumlah haji laki-laki, karena dimensi simbolistis pakaian haji perempuan lebih besar dari pada haji laki-laki. Karena alasan ini pulalah, para suami mengalah mendahulukan istrinya naik haji dari pada dirinya sendiri.
Kedua, ada indikasi kuat masyarakat di lokasi penelitian naik haji untuk memperoleh status sosial. Status sosial ini biasanya diukur dari penghargaan masyaratakat terhadap seseorang. Pada acara-acara pernikahan, yang diundang untuk terlibat adalah mereka yang sudah berstatus haji. Perempuan yang berstatus haji pada acara perkawinan tidak lagi bertugas di bagian belakang yaitu urusan dapur akan tetapi bersama-sama dengan para laki-laki duduk di depan sebagai kelompok orang-orang terhormat. Sebelum berstatus haji, biasanya perempuan memang harus bertugas di bagian dapur seperti memasak, mengatur makanan, dan mencuci piring sedangkan setelah haji, maka tidak diperbolehkan lagi. Banyak  responden perempuan mengaku sebelum berstatus haji tidak pernah ke acara pernikahan akan tetapi setelah haji menjadi sangat rajin.
Ketiga, berdasarkan informasi informan, jemaah haji Bugis kebanyakan hanya mementingkan fardu-fardu haji sajadalam pelaksanaan ibadah hajinya dan cendrung mengabaikan sunnah-sunnah haji seperti sholat berjamaah. Umumnya mereka memilih jenis haji tamatu, yaitu jenis pelaksanaan haji yang tergolong mudah dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dapat ditutupi dengan membayar dam atau denda. Akibatnya, banyak dari mereka yang seenaknya tidak menghiraukan ibadah-ibadah yang seharusnya dilakukan dan lebih memilih untuk pergi berbelanja. Prinsip mereka ketika ditanya tentang ibadah, “Puang Alla Taala’mi missengngi” (Hanya Allah Yang Tau).
Pemahaman orang Bugis terhadap haji seperti itu sudah menjadi pola pikir. Pola pikir itu tumbuh secara bertahap namun menghiujam dalam ke jiwa orang Bugis. Mengakar karena pola pikir itu dibentuk oleh kultur, bukan rasio. Pada masyarakat sedang berkembang, pola pikir dibentuk oleh kultur dan akhirnya menjadi kultur, bukan oleh pikiran. Orang mengikuti sesuatu yang diyakininya telah dilakukan oleh lelhurnya secara turun temurun, tanpa mepertanyakan kebenaran atau keabsahan ikutan itu.

Haji Sebagai Transpormasi Orang Bugis

1.             Haji Sebagai Transpormasi Keagamaan
Sebanyak 88 responden atau 97,8 persen meyakini bahwa hji adalah transpormasi tertinggi seorang muslim. Dengan berhaji, maka mereka merasa keislaman mereka menjadi sempurna. Umumnya responden itu menjadikan haji sebagai momen untuk memperbaiki pengamalan ibadah lainnya, seperti sholat dan puasa. Mereka mengaku merasa dirinya mulia dari sisi keagamaan karena ia pernah menjadi tamu Allah di Tanah Suci. Hal itu disebabkan oleh karena menunaikan ibadah haji diyakini memnuhi panggilan Allah SWT. Semua  ummat-Nya pada dasarnya dipanggil  untuk menunaikan ibadah haji, tetapi hanya orang yang ditakdirkan-Nya yang bisa bisa  memenuhi panggilan itu.
Hanya ada 2 responden yang berpendapat bahwa haji berkedudukan sama dengan rukun islam lainnya, tidak lebih penting dari sholat misalnya. Haji hanya wajib bagi yang mampu saja, sedangkan sholat wajib bagi semua muslim. Meskipun begitu, kedua responden itu merasa bahwa ibadah haji adalah yang memberikan pengalaman religius yang paling mendalam dan memberikan efek prilaku yang paling besar bagi yang telah melakukannya.
Kebanyakan responden bertutur bahwa ibadah haji yang telah mereka lakukan benar-benar telah meninggalkan sebuah pengalaman keagamaan yang luar biasa dan susah digambarkan. Lebih dari pada itu, gelar haji yang mereka miliki memberi mereka sugesti untuk berusaha menjadi muslim yang lebih baik seperti yang diungkapkan seorang responden “sejak dari masih muda saya sudah bercita-cita naik haji. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga  panggilan Allah SWT. Kepada saya . . . Sebelum saya naik haji, rasanya keislaman saya kurang sempurna, biarpun kita rajin melaksanakan sholat rasanya tetap ada yang kurang. Setelah haji, sempurna rasanya. Biarpun mati sekarang, rasanya tidak apa-apa . . .”

2.             Haji Sebagai Transformasi Kedirian
Haji merupakana transformasi kedirian seorang individu yang bisa jadi merupakan bentuk  yang tertinggi dan terakhir. Sejak islam menjadi agama kerajaan, setratifikasi sosial masyarakat Bugis pun mengalami perubahan. Penghargaan masyarakat terhadap peranan-peranan seseorang mengalami pergeseran secara drastis. Pada zaman panngadereng sebelum masuknya sara’, tempat tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis ditempati oleh raja dan keluarga bangsawan, orang merdeka dan budak. Akan tetapi setelah sara’ mewarnai panngadereng, status tertinggi dalam stratifikasi itu adalah to sugi (orang kaya) dan to panrita (ulama’), baru kemudian to mapparenta (pemerintah), pegawai dan rakyat biasa.
Sebelum zaman islam, ada tidaknya status seseorang ditentukan oleh faktor keturunan. Hanya sebagian kecil  orang dalam masyarakat yang memiliki status karena orang tidak dapat  memperoleh status dengan usahanya. Hal itu berbeda dengan sistem status setelah masuknya Islam dan Kebudayaan Bugis mulai bersentuhan dengan modernitas.  Status merupakan pencapaian dari usaha dan prestasi. Apa lagi seja La Maddaremmeng (1625-1640) raja Bone yang ke-16 menghapuskan  sistem perbudakan di Bone membuat orang meiliki status dasar sama yaitu to maradeka (orang bebas). 
Dari uraian tentang sistem status orang Bugis itu, konsep penting yang tampaknya dimiliki oleh orang berkaitan dengan sistem status adalah sikap kompetitif. Masyarakat Bugis adalah masyarakat yang suka bersaing untuk menduduki status sosial yang lebih tinggi. Tiap-tiap perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara kecil, dengan  angan-angan atau dengan kesungguhannya mengakibatkan bahwa orang yang menderita perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Orang yang merasa dilampaui dan menjadi lebih rendah status sosialnya akan merasa dirinya dipakkasiri (dibuat malu) dan akan berusaha membalas tindakan itu dengan jalan melebihinya atau paling tidak menyamainya.
Nilai sosial yang mengutamakan nilai persaingan itu juga memberi tekanan yang berat  kepada semua orang yaitu rasa ketakutan dianggap gagal memenuhi harapan masyarakat. Kegagalan oleh orang Bugis membawa siri’ sebagai sesuatu yang dianggap gawat.
Sebanyak 60 responden atau 66,7 persen mengaku termotivasi naik haji karena pada awalnya merasa tidak enak melihat tetangganya atau kerabatnya telah haji. Mereka merasa malu karena itu pertanda bahwa mereka dianggap tidak mampu, bahkan kalah kalu  tidak naik haji juga. Para responden itu terdiri dari orang yang termasuk ekonomi menengah ke bawah,umumnya bermata pencaharian sebagai petani, PNS dan pedagang, seorang responden  mengatakan:
“sejak banyak tetangga saya banyak yang naik haji, maka saya mengatakan pada diri sendiri, awas, kalau Allah SWT, menghendaki saya akan naik haji juga secepatnya. Apa lagi waktu itu, dari bersaudara tinggal saya yang belum naik haji . . . .)”.
Sebelumnya, sebanyak 30 responden atau 33,3 persen naik haji memang sudah mempersiapkannya sejak lama. Umumnya mereka mengaku tidak terpengaruh oleh orang lain yang telah duluan naik haji. Tetapi bagaimanapun, mereka tetap merasa bahwa haji adalah prestasi seseorang, simbol keberhasilannya dalam mengumpulkan harta. Dengan kata lain, bagi mereka haji adalah sebuah simbol tranformasi kedirian seseorang, di mana dengan naik haji berarti telah mencapai posisi tertinggi yang mampu dicapai seseorang.


PENUTUP
Kesimpulan
1.            Kebanyakan orang Bugis Bone naik haji karena dimotivasi oleh paham-paham dan kepercayaan tertentu. Pemahaman haji seperti itu telah menjadi pola pikir yang tumbuh secara bertahap dan akhirnya menjadi kultur dehingga menghujam ke jiwa orang Bugis. Pola pikir itu tercipta melalui proses peniruan secara turun temurun, tanpa mempertanyakan kebenaran atau keabsahan ikutan itu karena yang digunakan bukan pikiran.
2.             Ada dua konsep yang melandasi pehaman terhadap haji, yaitu:
a.             Konsep kesuksesan hidup; haji adalah prestasi tertinggi seseorang individu karena simbol kesuksesan hidup seseorang dalam kehidupan dunianya sekaligus sebagai simbol kesempurnaan agama seorang Muslim.
b.            Konsep takdir; haji adalah takdir sehingga meskipun seseorang mempunyai harta yang melimpah kalau belum takdirnya tetap saja tidak bisa naik haji. Sebaliknya, meskipun miskin kalau sudah dipanggil oleh Allah SWT maka ia akan naik haji, apa pun caranya.
3.             Memakai aspek simbolik haji yang menonjol adalah busana dan gelar haji. Kedua simbolik haji itulah yang merupakan identitas seorang haji. Memakai atribut haji merupakan keniscayaan bagi haji. Atribut itu sangat dihargai karena telah diberkahi melalui ritual mappatoppo. Selain sebagai simbol wisuda haji, mappatoppo juga diyakini sebagai syarat kesempurnaan haji yaitu yang berhubungan dengan kebolehan menggunakan gelar haji dan kepantasan memakai busana haji.
4.             Busana haji orang bugis terdiri dari kabe’, taliling, terispa’, untuk haji perempuan serta songko’ hajji (peci putih), surubeng (sorban), dan tippolo untuk haji laki-laki.
5.             Gelar haji menunjukkan identitas sebagai haji, di mana dengan identitas itu, penghargaan-penghargaan sosial yang disediakan oleh sistem sosialnya bagi status haji akan diperoleh. Gelar haji akan melekat terus menerus, melebihi identitas atau gelar-gelar lain. Panggilannya berubah menjadi panggilan haji, termasuk panggilan anak pada orang tuanya atau panggilan keluarga lainnya.
6.             Aspek simbolik haji berimplikasi pada:
a.              Status sosial; dengan statusnya, seorang haji menjadi golongan atas dalam masyarakat.
b.             Pakaian haji; pakaian merupakan kunci untuk mendapatkan penghargaan-penghargaan sosial yang ekslusif. Pada acara-acara pesta atau kegiatan adat, ada pola-pola pembagian posisi duduk yang mengutamakan haji dari bukan haji, yang ditentukan dari pakainnya.
c.              Komposisi haji perempuan dan laki-laki; jumlah jamaah haji perempuan jauh lebih tinggi dari pada jamaah haji  laki-laki. Perbedaan yang yang signifikan iitu merupakan implikasi dari status sosial dan pakaian sekaligus.
7.             Fungsi haji yang tertinggi bagi orang Bugis adalah sebagai transformasi keagamaan dan transformasi kedirian. Hji merupakan dari pengalaman keagamaan tertinggi seorang Muslim. Selainitu, haji merupakan transformasi kedirian orang Bugis, karena status haji meupakan sebuah simbol peran dan sekaligus simbol status dalam stratifikasi sosial masyakat Bugis. Status haji adalah sebuah prestise dan kebanggaan sosial, simbol keulamaan dan kekayaan sekaligus. Status haji merupkan simbol untuk seseorang disebut sebagai ponrita (orang pintar/alim) sekaligus salah satu simbol untuk seseorang disebut to sugi (orang kaya).

Saran
1.             Penulis telah melihat terjadi pergeseran nilai-nilai siri’ sebagai nilai utama masyarakat Bugis kepada nilai-nilai yang berorientasi materil, salah satu indikasinya adalah lapisan to sugi (orang kaya) menjadi golongan tertinggi dalam sistem status orang Bugis saat ini. Disarankan kepada pemerhati ilmu sosial lainnya untuk mengkaji lebih dalam untuk mendapatkan kesimpulan yang benar-benar faktuil.
2.             Hasil penelitian mengisyaratkan bahwa salah satu faktor penyebab orang Bugis tekun dan gigih dalam bekerja adalah karena terobesesi untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dengan kata lain, orang Bugis bekerja keras karena motivasi keagamaan. Kenyataan ini seharusnya dijadikan bahan rujukan oleh pengambil kebijakan, khususnya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Selain itu, pemerintah dan penentu kebijakan sosial lainnya disarankan mengambil usaha-usaha preventif sebelum masyarakat Bugis benar-benar menjadi masyarakat materialistis yang sekuler. Nilai-nilai utama pangngandereng harus disosialisasikan secara intensif kepada generasi muda, termasuk usaha-usaha menanamkan pola pikir dan priaku Islami karena nilai-nilai Islam terbukti telah menajdi salah satu faktor utama orang Bugis tetap menjadi tau tongeng (manusia yang sebenarnya).
3.             Perlu dirumuskan metode dakwah yang cocok bagi orang Bugis Bone, atau orang Bugis secara keseluruhan yang menggunakan perpaduan pendekatan kulturanl dan religius, agar paham keislaman dan prakteknya tidak menya;ahi syara’, dan di sisi lain nilai-nilai utama kebudayaan Bugis seperti lempu (jujur), dan getteng (tegas) pun dapat dipertahankan. Perumusan itu sebaiknya melibatkan seluruh potensi sosial masyarakat seperti organisasi sosial keagamaan. Terbukti, organisasi keagamaan yang ada memberi pengaruh yang sangat kuat pada anggota atau jemaahnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI-TEORI ILMU SEJARAH

TEORI-TEORI ILMU GEOGRAFI

TEORI-TEORI ILMU ANTROPOLOGI