TEORI-TEORI ILMU ANTROPOLOGI


2.      TEORI-TEORI ILMU ANTROPOLOGI
1)        Teori Orientasi Nilai Budaya => (Kluckhohn)
Strodtbeck dalam judul Variations in Value Orientation (1961). Menurut teori tersebut soal- soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dalam tiap kebudayaan minimalnya ada lima hal, yaitu; (1) Human Nature atau soal makna hidup manusia; (2) Man Nature, atau soal makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) Time; yaitu persepsi manusia mengenai waktu; (4) Activity; yaitu masalah makna dari pekerjaan, karya dan amal dari perbuatan manusia; (5) Relational, yaitu soal hubungan manusia dengan sesama manusia. Lima masalah inilah yang disebut value orientations atau “orientasi nilai budaya”.
Berdasarkan isi teori orientasi nilai tersebut, dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut :
a)      Dalam kaitannya dengan makna hidup manusia, bagi beberapa kebudayaan yang menganggap bahwa hidup itu adalah sumber keprihatinan dan penderitaan, maka kemungkinan variasi konsepsi orientasi nilai budayanya dirumuskan Kluckhohn dengan kata “evil” Sebaliknya, dalam banyak kebudayaan yang mengganggap hidup itu adalah sumber kesenangan dan keindahan, dirumuskannya dengan kata “good”.
b)      Berkenaan dengan soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang mengkonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna, sehingga manusia sepatutnya tunduk saja kepadanya (subjucation to nature). Namun terdapat juga kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya, sejak usia dini walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, namun nalar manusia harus mampu menjajagi rahasia-rahasianya untuk menaklukkan dan memanfaatkannys gunua memenuhi kebutuhannya (mastery over nature).. Juga terdapat pula alternatif lain yang mengehendaki hidup selaras dengan alam (harmony with nature).
c)      Dalam kaitannya dengan soal persepsi manusia dengan waktu, ada kebudayaan yang memetingkan masa sekarang (present), sementara banyak pula yang berorientasi ke masa depan (future), Kemungkinan besar untuk tipe pertama adalah pemboros, sedangkan untuk tipe kedua adalah manusia yang hemat.
d)     Dalam kaitannya dengan soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, banyak kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, selain untuk  bereproduksi,  hal  ini  dirumuskan  Kluckhohn  dengan  kata  “being”.  Sebagian kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih luas daripada bekerja; seperti menolong orang lain, dikelompokkannya dalam kata “doing”.
e)      Dalam kaitannya dengan hubunganmanusia antar sesama manusia, banyak kebudayaan yang mengajarkan sejak awal untuk hidup bergotong-royong (collaterality) serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya sebagai acuan kebudayaan sendiri (lineality). Sebaliknya, banyak kebudayaan yang menekankan hak individu yang menekankan kemandirian, maka orientasinya adalah memetingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas kedududukan, pangkat, maupun status sosialnya.

2)      Teori Evolusi Sosiokultural =>  (Paralel, Konvergen, Divergen, Sahlins dan Harris)
Istilah “evolusi” yang merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang berkembang dari satu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tak pernah putus. Terkenalnya memang oleh Charles Darwin yang ditulis dalam buku Origin Species (1859), walaupun kata-kata itu sudah dikenal sebenarnya sejak zaman Yunani kuno, dan sejumlah   pemikir sejak masa itu telah membuat postulat yang bersifat evolusioner.
Beberapa penganut evolusionisme berpendapat bahwa arah kecenderungan utama dalam evolusi sosiokultural adalah bertambanhnya kompleksitas masyarakat (Parson, 1966, 1977;  Carneiro,  1972).  Menurut  dua  antropolog  (yang  sebetulnya  tidak  bersatu)  yakni Marshall Sahlins (1960) dan Marvin Harris (1968) bahwa:
a)      Evolusi sosiokultural meliputi seluruh sistem sosiokultural maupun komponen-komponen terpisah dari sistem tersebut. Biasanya terjadi bahwa perubahan berawal dari suatu komponen (atau sub-komponen) dan perubahan ini menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen yang lain. Seluruh mata-rantai sebab dan akibat bergerak sehingga akhirnya menghasilkan transformasi pada seluruh sistem sosiokultural.
b)      Evolusi sosiokultural bukanlah proses tunggal, unitary, yang terjadi dengan cara yang sama pada seluruh masyarakat. Sebagaimana evolusi biologis, evolusi sosiokultural mempunyai karakter “ganda” (Sahlin, 1960). Pada suatu sisi ia merupakan proses yang meliputi transformasi menyeluruh pada masyarakat manusia. Ia memperlihatkan suatu karakter umum dan pola terarah dalam semua masyarakat yang mengalaminya. Proses ini bisanya disebut “evolusi umum atau general evolution (Sahlins, 1960). Namun di sisi lain evolusi sosiokultural memperlihatkan divesifikasi adaptif yang mengikuti banyak garis yang berbeda-beda dalam banyak   masyarakat. Rincian-rincian spesifik dari perubahan evolusioner umumnya berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Polaperubahan ini secara tipikal disebut evolusi spesifik atau specific evolution (Sahlin, 1960).
c)      Pembedaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: Evolusi Paralel; Evolusi Konvergen; dan Evolusi Divergen.
d)     Evolusi Paralel; adalah merupakan evolusi yang terjadi dalam dua atau lebih sosiobudaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama dan dengan tingkat yang pada dasarnya sama. Dalm hal ini dapat diambil contoh masyarakat pada zaman prasejarah; di zaman berburu dan meramu yang kemudian meningkat ke zaman memelihara binatang dan  bercocok  tanam.  Kalaupun  terjadi  perubahan,  namun  pada  umumnya  mereka memiliki pola-pola kehidupan yang serupa.
e)      Evolusi Konvergen; adalah terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula berbeda perkembangannnya namun mengikuti pola yang serupa kemajuannya. Contohnya sebut saja beberapa negara industri seperti Jepang dan Amerika mulanya mempunyai sejarah peradaban yang jauh berbeda, namun akhirnya memiliki banyak persamaan kemajuan yang serupa.
f)       Evolusi  Divergen;  adalah  terjadi  ketika  berbagai  masyarakat  yang  semula  mengikuti banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat perkembangan yang jauh berbeda. Dalam hal ini Geertz (1963) memberi contoh Indonesia dengan Jepang, mulanya memiliki banyak persamaan pola sampai abad ke tujuh belas. Akan tetapi dalam perkembangannya belakangan ini jauh berbeda, dimana Jepang melampaui Indonesia sebagai negara maju dengan standar hidup yang tinggi, sedangkan Indonesia hampir tetap seperti dahulu dan termasuk “negara berkembang” kalau bukan terbelakang.

3)      Teori Evolusi Kebudayaan => (Lewis H. Morgan)
Lewis H. Morgan (1818-1881) adalah seorang perintis antropolog Amerika terdahulu di mana sebagai karir awalnya adalah seorang ahli hukum yang banyak melakukan penelitian atas suku Indian di hulu Sungai St. Lawrence dekat kota New York. Karya terpentingnya berjudul Ancient Society (1987) yang memuat delapan tahapan tentang evolusi kebudayaan secara universal. Adapun dari delapan tahapan tersebut adalah;
a)      Zaman Liar Tua; merupakan zaman sejak adanya manusia sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian meramu,   mencari   akar-akar   tumbuh- tumbuhan liar.
b)      Zaman Liar Madya; merupakan zaman di mana manusia menemukan senjata busur-panah; pada zaman ini pula manusia mulai mengubah mata pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai sebagai pemburu.
c)      Zaman Liar Muda; pada zaman ini manusia dari persenjataan busur-panah sampai mendapatkan barang-barang tembikar, namun masih berburu kehidupannya.
d)     Zaman  Barbar  Tua;  pada  zaman  ini  sejak  pandai  membuat  tembikar  sampai  mulai beternak maupun bercocok tanam.
e)      Zaman Barbar Madya; yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai kepandaian membuat benda-benda/alat-alat dari logam.
f)       Zaman barbar Muda; yaitu zaman sejak manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal tulisan.
g)      Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam.
h)      Zaman Peradaban masa kini; sejak zaman peradaban tua/klasik sampai sekarang.

4)      Teori Evolusi Animisme dan Magic => (Taylor dan Frazer)
Edward Burnett Taylor (1832-1917) dan Sir James George Frazer (1854-1941) adalah seroang perintis antropologi sosial-budaya di Inggeris (Taylor) dan seorang lagi ahli folklor Skotlandia yang banyak menggunakan bahan etnografi yang sekaligus termasuk kelompok evolusionisme (Frazer). Jika Taylor terkenal  seorang otodidak yang produktif dengan karyanya Research into the Early History of Mankind and the Development of Civilization (1865), kemudian Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religian, Language, Art, and Custom (1871) yang menempatkannya sebagai ahli teori evolusi budaya dan religi, sedangkan Frazer, dua karyanya yang terkenal adalah Totemism, and Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913). Karya yang kedua inilah yang banayak berhubungan dengan teori agama, magi, dan sihir, yang secara garis besar inti teorinya sebagai berikut:
a)      Animisme adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda, dan animisme merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama (Pals, 2001: 41).
b)      Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, yang disebabkan dua hal, yaitu: (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Di sinilah mausia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu; (2) Peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan  manusia membedakan antara tubuh jasmani dan rohani/jiwa (Taylor, 1871/1903; 429).
c)      Manusia memecahkan beberapa persolan hidupnya selalu dengan akal dan sistem pengetahuannya.  Tetapi  karena  kemampuan  akal  dan  sistem  pengetahuan  tersebut terbatas, maka ia juga menggunakan magic atau ilmu gaib. Dalam pandangan Frazer adalah semua tindakan manusia untuk mencapai maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks yang ada dibelakangnya.
d)     Ilmu  gaib  mulanya  hanya  untuk  mengatasi  pemecahan  masalah  hidup  manusia  yang berada di luar kemampuan akal dan sistem pengetahuannya, dan saat itu agama (religi) belum ada.
e)      Karena  penggunaan  magic  tidak  selalu  berhasil  (bahkan  kebanyakan  gagal)  maka mulailah ia yakin bahwa alam semesta didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini kemudian berasaha menjalin hubungan dengan mahluk halus itu dan timbullah agama (Koentjaraningrat, 1987: 54).
f)       Antara agama dan magic itu berbeda. Agama sebagai “cara mengambil hati untuk atau menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib dan kehidupan manusia (Frazer, 1931: 693). Sedangkan magic dilihatnya sebagai usaha untuk memanipulasikan “hukum-hukum alam tertentu yang dipahami. Jadi magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudo-science), bedanya dengan ilmu pengetahuan modern karena konsepsinya yang salah tentang sifat dasar hukum tertentu yang mengatur urutan terjadinya peristiwa.
g)      Magic memiliki dua prinsip utama. Pertama, like produce like (persamaan menimbulkan persamaan) disebutnya sebagai magic simpatetis. Misal di Burma pemuda yang ditolak cintanya, ia akan memesan boneka yang mirip dengan rupa pacarnya kepada tukang sihir. Jika boneka itu dilempar ke dalam air yang diserta dengan guna-guna tertentu, si gadis penolak akan gila. Dengan demikian nasib si gadis akan serupa atau sama dengan nasib siboneka sebagai tiruannya. Prinsip kedua, adalah prinsip magic senggol (contagious magic), yaitu bahwa benda atau manusia yang pernah saling berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun hanya seutas rambut, kuku, gigi, dan sebagainya. Sebagai contoh suku Basuto di Afrika Selatan akan hati-hati mencabut giginya jangan sampai kesenggol oleh orang lain yang dapat menyalahgunakan maksudnya.

5)      Teori Evolusi Keluarga => (J. J. Bachoven)
J.J. Bachoven adalah seorang ahli hukum Jerman yang banyak mempelajari etnografi berbangsa bangsa (Yunani, Romawi, Indian, termasuk juga Asia Afrika). Karya monumentalnya ditulis dengan judul Das Mutterrecht atau ”Hukum Ibu” (1967). Inti dari teori Evolusi Keluarga dari Bachoven tersebut bahwa ”Seluruh keluarga di seluruh dunia mengalami perkembangan melalaui empat tahap, yakni :
1)      Tahap Promiskuitas; di mana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, yang mana laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok-kelompok keluarga inti belum ada pada waktu itu. Keaadaan tersebut merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
2)      Lambat-laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat. Oleh karena itu pada masa ini anak-anak mulai mengenal ibunya belum mengenal ayahnya. Di sinilah peran ibu merangkap sebagai sebagai kepala keluarga atau rumah tangga. Pada masa ini pula hubungan/perkawinan antara ibu dengan anak dihindari, dengan demikian timbul adat exogami. Pada sistem masyarakat yang makin luas demikian dinamakan sistem matriarchate, di mana garis keturunan ibu sebagai satu-satunya ynng diperhitungkan.
3)      Tingkat berikutnya adalah sistem patriarchate, di mana ayah menjadi kepala keluarga. Perubahan dari matriarchate ke partrirchate tersebut setelah kaum pria tidak puas dengan keadaan sosial yang mengedepankan peranan perempuan (ibu). Ia kemudian mengambil calon-calon istri dari kelompok yang bebeda untuk dibawa ke kelompoknya sendiri. Dengan demikian keturunan yang mereka dapatkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria.Kejadian itulah yang secara lambat laun mengubah tradisi matrarchate ke patriarchate.
4)      Pada tingkat yang terakhir, di mana terjadi perkawinan tidak selalu dari luar kelompok (exogami) tetapi bisa juga dari dalam kelompok yang sama (endogami), memungkinkan anak-anak-anak secara langsung mengenal dan banyak berhubungan dengan ibu dan ayahnya. Hal ini lambat laun sistem patriarchate mengalami perubahan/hilang menjadi suatu bentuk keluarga yan dinamakan ”parental”.
6)      Teori Upacara Sesaji => (Smith)
W. Robertson Smith (1846-1894), adalah seorang ahli teologi, ilmu pasti, dan bahasa serta  sastera  Semit  yang  berasal  dari  Universitas  Cambridge.  Tulisannya  yang  terkenal berjudul Lectures on Religion of the Semites (1889), Isi pokok buku itu yang erat kaitannya dengan teori sesaji tersebut, menurut Koentjaraningrat dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga gagasan penting mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya, sebagai berikut :
1)      Gagasan  pertama;  di  samping  sistem  keyakinan  dan  doktrin,  sistem  upacara  juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisis yang khusus. Suatu hal yang menarik dalam banyak agama upacara itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya itu berubah.
2)      Gagasan  kedua;  bahwa  upaca  religi  atau  agama  tersebut,  biasanya  dilaksanakan  oleh banyak warga masyarakat (pemeluk religi atau agama), mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi keikusrtaan mereka dalam upacara itu memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda namun melalui kekuatan solidaritas sosial, mampu memberikan dorongan yang bersifat memaksa atas beberapa individu yang berbeda.
3)      Pada  prinsipnya  upacara  sesaji,  di  mana  manusia  menyajikan  sebagian  dari  seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya,  hakikatnya  sama  sebagai  suatu  aktivitas  untuk  mendorong  rasa  solidaritas dengan para dewa. Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa. Itulah sebabnya dalam upacara sesaji bukan semata-semata kehidmatan yang dicari, melainkan juga kemeriahan dan kekeramatan, disamping kehidmatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI-TEORI ILMU SEJARAH

TEORI-TEORI ILMU GEOGRAFI